Kata pembuka

Kamis, 19 Februari 2015

Pwarrti Marga

Pengertian Prawrtti Marga
            Tanupa’ agne’si tanvaṁ me
pāhathayurdā’agne’ syāyurme dehi,
varcodā’agne’si varco me dehi
agne yanme tanvā’ūnaṁ tanma’āpṛṇa”.
Terjemahannya:
“Engkau (Hyang Agni) adalah pelindung badan kami, lindungilah badan kami.
Engkau memberikan umur panjang, berikanlah kami umur panjang, Engkau
memberikan kecemerlangan budi. Ya Tuhan yang Maha Esa, apapun yang kurang
pada diri kami, semoga engkau memberikannya” (Yajur Veda III.17).

Prawrtti Marga adalah cara atau jalan yang utama untuk mewujudkan rasa bhakti ke hadapan Sang Hyang Widhi, dengan tekun melaksanakan tapa, yajna, dan kirti.

Pengertian Tapa
            Kata “tapa” berarti pengendalian diri untuk memuja Sang Hyang Widhi. Setiap umat Hindu memiliki kewajiban untuk melakukan pengendalian diri, dengan tujuan menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi. Pengendalian diri (tapa) itu sangat perlu dilaksanakan secara tekun dan teratur. Pelaksanaan tapa dapat dilakukan dengan mengikuti ajaran yama dan nyama. Kitab Yoga Sutra Patanjali menyebutkan ajaran yama dan niyama, masing-masing terdiri atas 5 bagian yang disebut dengan nama “Panca Yama” dan “Panca Nyama”. Sebagai makhluk Tuhan manusia hendaknya dapat kembali kepada-Nya dengan cara tekun dan kesungguhan hati melaksanakan tapa melalui pelaksanaan ajaran Panca Yama dan Nyama. Tapa merupakan salah satu cara untuk menyucikan jiwa/roh yang ada dalam diri kita.
Kitab Manusmrti menyebutkan sebagai berikut
“adbhir gatrani cuddhyanti manah sayena
cuddhyanti,
widyo tapobhyam bhratātma buddhir
jnanena cuddhyanti”.
(Manawa Dharma Sastra V.109)
Terjemahannya:
“Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran
dibersihkan dengan kejujuran, roh
dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal
dibersihkan dengan kebijaksanaan”.
Keterangan di atas dengan jelas menyatakan bahwa pengendalian diri, (tapa) merupakan sarana untuk membersihkan roh/jiwatma yang berada pada diri manusia dari belenggu ketertarikan yang bersifat duniawi. Maha Resi Patanjali mengatakan bahwa citta atau alam pikiran manusia dibangun oleh manah (bagian alam pikiran yang bersifat penerima kesan) budhi (bagian alam pikiran yang bersifat menganalisa), dan ahamkara ( rasa aku/rasa ego).
Pikiran manusia hendaknya dibersihkan dengan selalu berbuat jujur. Di dalam pribadi yang jujur terdapat pemikiran yang jernih, dan dalam pemikiran yang jernih terdapatlah ketenangan batin.
Perilaku manusia di samping dapat dibentuk oleh faktor lingkungan, juga dibentuk oleh faktor dalam manusia itu sendiri. Faktor dalam dari manusia yang bersangkutan dalam bertingkah-laku harus diperhatikan, karena ia memiliki sifat yang beraneka ragam. Faktor dalam manusia disebut dengan Tri Guna, yang unsur-unsurnya terdiri dari sattwam, rajas dan tama.
Dalam sloka 15 dari kitab Wraspati Tattwa, menyebutkan keterangan tentang Tri Guna,
sebagai berikut.

“Laghu prakacakam sattwam cancalam tu rajah sthitam,
tamo guru varanakam ityetaccinta laksanam
ikang citta mahangan mawa, yeka sattwa ngaranya,
ikang madres molah, yeka rajah ngaranya,
abwat peteng, yeka tamah ngaranya”.
Terjemahannya :
“Pikiran yang ringan dan terang, itu sattwam namanya, yang bergerak cepat itu
rajas namanya, yang berat dan gelap itu tamas namaya”.
Keterangan dari kitab Wrhaspati Tattwa jelas-jelas menyatakan bahwa pikiran adalah raja/pemimpin yang ada pada diri manusia. Pikiranlah yang memerintah manusia untuk bertingkah-laku dalam kehidupan ini. Pikiran manusia yang dilapisi oleh Tri Guna (tiga kekuatan) akan bergerak-gerak menurut besar-kecilnya pengaruh dari masing-masing guna (kekuatan) yang ada pada manusia itu sendiri. Guna Sattwa bersifat baik bijaksana, Guna Rajas bersifat ego/angkuh, dan Guna Tamas bersifat malas atau masa bodo. Manusia hendaknya dapat mengendalikan Guna Rajas dan Guna Tamas yang ada pada dirinya. Sebaliknya Guna Sattwam manusia harus memiliki kemampuan untuk mengangkat Guna Sattwam yang ada pada dirinya. Karena Guna Sattwam dapat mengantar manusia menjadi orang bijaksana dan terhormat. Ajaran tapa dengan yama dan nyama dapat mengantar pikiran manusia menuju sattwam. Dan sattwam beserta dengan tapa dapat mengendalikan Guna Rajas dan
Tamas. Bila ini dapat dan mau dilaksanakan maka manusia yang bersangkutan dapat dinyatakan bijaksana serta berhasil dalam “tapa”.
Sastra-sastra agama yang memuat ajaran pengendalian diri bila mau dipelajari, di dalam dan diamalkan dapat menghantarkan orang yang bersangkutan melaksanakan tapa. Dalam kesempurnaan “tapa” kita dapat merasakan Tuhan beserta manifestasinya itu ada, mensyukuri anugrah-Nya, merasakan hidup ini indah dan hidup ini damai. Demikianlah manfaat ajaran pengendalian diri (tapa) itu, guna terciptanya sifatsifat yang mulia dan bijaksana (kedewasaan) dan terkendali sifat-sifat egois atau angkuh (keraksasaan).

Pengertian Yajna

Yang dimaksud dengan yajna adalah suatu pemujaan dan persembahan yang dilaksanakan oleh umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan beserta manifestasinya yang dilandasi dengan rasa bhakti dan ketulusan hati. Melaksanakan yajna merupakan kewajiban bagi setiap umat yang beragama Hindu. Membiasakan diri hidup dengan yajna adalah suatu kebiasaan yang utama. Keutamaan yajna terletak pada ketulusan hati dari mereka yang mempersembahkan yajna itu. Umat Hindu memiliki suatu keyakinan bahwa, terciptanya manusia oleh Tuhan/ Sang Hyang Widhi berdasarkan yajna. Kitab Bhagavad Gita menyebutkan sebagai berikut.
“Sahayajnah prajah srishtva puro’vacha praja patih,
anena prasavishya dhvam esa vo’stvishta kamadhuk”.
(Bhagavad Gita. III. 10)
Terjemahannya:
“Dahulu kala prajapati menciptakan manusia bersama bhakti-persembahannya
dan bersabda; dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapiperahanmu”.

Kata bhakti dalam sloka di atas adalah yajna. Dari keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa, dahulu pada masa pencipta (Šṛṣti), Sang Hyang Widhi /Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya (manusia) berdasarkan yajna. Karena manusia tercipta oleh yajña-Nya, maka sudah menjadi kewajiban, dalam kehidupannya manusia mengisinya dengan yajna. Yajna merupakan salah satu cara bagi manusia, untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan beserta manifestasinya.
Secara umum umat Hindu melaksanakan lima jenis yajna.
Berikut ini adalah bagian-bagian yajña.
a. Dewa Yajña yaitu persembahan ke hadapan Sang Hyang Widhi
b. Resi Yajña adalah persembahan kepada para rsi
c. Manusa Yajña adalah persembahan terhadap sesama manusia.
d. Pitra Yajña adalah persembahan kepada leluhur.
e. Bhuta Yajña adalah persembahan kepada para bhuta.
Pelaksanaan Yajña ini biasanya disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (laka) dan keadaan (patra). Di bawah ini pelaksanaan “yajña” menurut waktunya.
A.    Setiap hari, yang juga disebut “Nitya Kama”, yaitu pelaksanaan Yajña yang dilaksanakan setiap hari antara lain seperti berikut ini.
1.  Melaksanakan Tri Sandhya yaitu menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) hari.
2.  Mempersembahkan banten saiban yaitu menyampaikan rasa bersyukur ke Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa, setiap habis masak di dapur. Kebiasaan seperti ini perlu dilestarikan untuk menumbuhkembangkan rasa bersyukur umat manusia ke hadapan Sang Hyang Widhi. Orang yang baik adalah orang yang makan-makanan yang telah dipersembahkan ke hadapan-Nya.
Kitab Bhagavad Gita menyebutkan sebagai berikut.
“Yajña sishtasinah santo muchyante savra kilbishaih,
bhunjate te tvagham papa ye pachanty atma karanat”.
Terjemahannya:
“Yang baik makan setelah upacara bhakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi
menyediakan makanan lezat hanya bagi mereka sendiri ini sesungguhnya makan
dosa”.
Keterangan di atas memberikan amanat kepada kita agar selalu /dengan tidak hentihentinya memupuk budhi yang luhur. Budhi luhur manusia dapat dilihat dari praktik hidupnya sehari-hari, seperti lebih mendahulukan persembahan (yajna) dengan Panca Yajnanya daripada kebutuhan dirinya.
B.      Pada hari-hari tertentu atau waktu-waktu tertentu juga disebut “Naimitika Karma”. Selain yajna itu dapat dipersembahkan setiap hari seperti tersebut di atas, juga dapat dilaksanakan pada hari-hari atau waktu-waktu tertentu. Pelaksanaan yajna yang berhubungan dengan waktu-waktu tertentu, seperti yajna yang berhubungan dengan hari raya nyepi : Saraswati, Pagerwesi, Ciwaratri, Nyepi dan yang lainnya.

Pada hari-hari tersebut di atas pemujaan ke hadapan Tuhan/Sang Hyang Widhi dilaksanakan secara khusus. Sedangkan menurut tingkatannya yajña itu dapat dilaksanakan melalui tingkatan nistan (nista), tingkatan madya dan tingkatan utama. Dari tiga tingkatan pelaksanaan yajña, dapat kita kelompokkan lagi masing-masing menjadi tiga tingkatan lagi seperti berikut ini.
a) Tingkatan nistaning-nista.
b) Tingkatan nistaning-madya.
c) Tingkatan nistaning-utama.
d) Tingkatan madhayaning-nista.
e) Tingkatan madhayaning-madya.
f) Tingakatan madhayaning-utama.
g) Tingkatan utamaning-nista.
h) Tingkatan utamaming-madya.
i) Tingkatan utamaning-utama.
Keutamaan dari yajña itu adalah sama, sedangkan tingkatan-tingkatannya itu bertujuan untuk memberikan gambaran dari kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang melaksanakan yajña (Sang Yajñamana). Yajña yang dipersembahkan umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi menggunakan beberapa sarana yang ditata dan disusun sedemikian rupa, dalam wujud sesajen atau banten. Sesajen dan banten merupakan sarana pelengkap dari pelaksanaan suatu yajña ke hadapan-Nya. Adanya beberapa sarana pokok dari yajña, sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagavad Gita sebagai berikut.
“pattram pushpam phalam toyam
Yo me bhaktya prayachchati
Tad aham bhaktyu pahritam
Asnami prayatat manah”.
(Bhagavad Gita IX. 26)
Terjemahannya:
“Siapa saja yang sujud kehadapan-Nya dengan persembahan setangkai daun,
sekuntum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air. Aku terima sebagai bhakti
persembahan dari orang yang berhati suci”.
Dari keterangan sloka di atas dapat kita simpulkan bahwa ,sarana pokok dalam beryana terdiri atas; daun, bunga, buah, dan air serta yang utama kesucian hati yang mempersembahkannya. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan yajna itu adalah sebagaimana berikut.
1) Sebagai pernyataan rasa bersyukur dan terima kasih ke hadapan Sang Hyang Widhi.
2) Sebagai pernyataan permohonan anugrah-Nya.
3) Sebagai ungkapan permohonan ampun atas segala kelalaian yang dilakukan.
4) Sebagai penghormatan kesucian diri, guna dapat mencapai kerahayuan,
kesejahteraan dan kebahagiaan atas karunia-Nya.
Demikianlah manfaat “yajna” dalam pelaksanaan ajaran Prawrtti Marga, bila kita dapat melaksanakan dengan kesungguhan hati akan dapat menikmati hasil atau phala yang dijadikan tujuan.

Pengertian Kirti

Kirti adalah suatu usaha, kerja ( karma) dan pengabdian yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya. Kirti adalah wujud kerja umat Hindu dalam rangka melaksanakan swadharmanya, baik dharma negara maupun dharma agama.
Agama Hindu melalui ajaran karma-marga mengajarkan setiap umat hendaknya kerja karena di dalam kerja terdapat kebahagiaan hidup ini. Seorang pekerja yang baik adalah mereka yang bekerja dengan tidak mengikatkan diri pada hasil kerja. Kerja yang dilandasi harapan para pekerjanya, bila tidak dapat mengisi harapannya dia akan menderita. Kitab suci Bhagavad Gita menyebutkan sebagai berikut.
“Na karmanam anarambhan
Naishkarmyam purusho’snute
Na cha samnyasanad ewa
Siddhim samadhigachchhati”
( Bhagavad Gita. III. 4)
Terjemahannya:
“Orang tidak akan mencapai kebebasan
karena diam tiada bekerja juga ia takkan
mencapai kesempurnaan karena
menghindari kegiatan kerja”.

Dalam sloka selanjutnya disebutkan sebagai berikut.
“Yajnarthat karmano ‘nyatra
Loko ‘yam karma bandhnah
Tadartham karma kaunteya
Mukta sangah samaçhara”.
(Bhagavad Gita. III. 9)
Terjemahannya:
“Kecuali tujuan berbhakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja karenanya, bekerjalah demi bhakti tanpa kepentingan pribadi, oh Kunti Putra”.

Berdasarkan keterangan sloka di atas, mengamanatkan kepada kita umat Hindu untuk selalu dapat mengabdikan diri melalui karma (kerja). Kerja yang dilaksanakannya hendaknya dilandasi dengan ketulusan hati, dan bukan karena mengharapkan hasil kerja itu. Kerja yang dilaksanakan dengan bhakti adalah “kirti”. Bila setiap umat Hindu dapat bekerja berdasarkan “kirti” maka tidak akan terjadi perselisihan di antara pekerjaan-pekerjaan itu. “Kirti” mengajarkan kita pada hidup damai dalam bekerja. Wujud kirti umat Hindu dalam hubungannya dengan dharma agama, dapat
dilaksanakan melalui hal-hal berikut.
a. Membangun dan memelihara tempat suci (pura)
b. Memberikan dana punia kepada orang suci atau orang lain yang sangat membutuhkan
c. Membuat dan menyiapkan sarana upacara (sesajen) dalam rangka pemujaan
d. Melaksanakan aktifitas/kerja bhakti (ngayah) pada tempat-tempat suci (pura)
e. Dan kegiatan lain yang berhubungan dengan aktifitas agama.

Semua kegiatan di atas merupakan beberapa wujud dari “Yasa Kirti” umat Hindu yang berhubungan dengan pelaksanaan dharma agama. Kemudian dalam hubungannya dengan pelaksanaan dharma negara, “Yasa Kirti” umat Hindu dapat diwujudkan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Turut berperan aktif dalam mensukseskan berbagai program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah.
b. Berupaya mewujudkan pembangunan fisik di berbagai sektor seperti bidang pendidikan, agama, sosial, kebudayaan, perekonomian, pertahanan, dan bidangbidang lainnya.
Dalam mewujudkan “Yasa Kirti” tersebut, hendaknya pelaksanaan selalu dilandasi dengan dharma dan kebajikan. Terciptanya suasana kebersamaan, kekeluargaan, semangat gotong royong, mantapnya pertahanan nasional, dan stabilitas nasional yang tangguh adalah wujud nyata dari dharma negara umat Hindu.

Demikianlah wujud “Yasa Kirti” umat Hindu dengan hubungannya dengan dharma negara dan dharma agama. Semuanya terjadi karena adanya kesadaran umat Hindu untuk membangun dan berkarya, guna mewujudkan kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani. Kesemuanya ini merupakan awal dari usaha untuk mewujudkan tujuan agama (Moksatham jagadhita ya ca iti dharma) dan tujuan penbangunan bangsa Indonesia ( masyarakat adil dan makmur).

Senin, 31 Maret 2014

Integrasi Nasional

 Pengertian Integrasi Nasional
Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional.          
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
2.      Faktor-faktor pendorong integrasi nasional sebagai berikut:
a.      Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
b.      Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
c.       Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
d.      Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
e.       Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa kesatuan bahasa Indonesia.
3.      Faktor-faktor penghambat integrasi nasional sebagai berikut:
a.       Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan sebagainya.
b.      Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
c.       Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
d.      Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
e.       Adanya paham “etnosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.



4.      Contoh wujud integrasi nasional, antara lain sebagai berikut:
a.       Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta oleh Pemerintah Republik Indonesia yang diresmikan pada tahun 1976. Di kompleks Taman Mini Indonesia Indah terdapat anjungan dari semua propinsi di Indonesia (waktu itu ada 27 provinsi). Setiap anjungan menampilkan rumah adat beserta aneka macam hasil budaya di provinsi itu, misalnya adat, tarian daerah, alat musik khas daerah, dan sebagainya.
b.      Sikap toleransi antarumat beragama, walaupun agama kita berbeda dengan teman, tetangga atau saudara, kita harus saling menghormati.
c.       Sikap menghargai dan merasa ikut memiliki kebudayan daerah lain, bahkan mau mempelajari budaya daerah lain, misalnya masyarakat Jawa atau Sumatra, belajar menari legong yang merupakan salah satu tarian adat Bali. Selain anjungan dari semua propinsi di Indonesia, di dalam komplek Taman Mini Indonesia Indah juga terdapat bangunan tempat ibadah dari agama-agama yang resmi di Indonesia, yaitu masjid (untuk agama Islam), gereja (untuk agama Kristen dan Katolik), pura (untuk agama Hindu) dan wihara (untuk agama Buddha). Perlu diketahui, bahwa waktu itu agama resmi di Indonesia baru 5 (lima) macam.
5.      Upaya Meningkatkan Nasionalisme dan Integrasi Nasional
a.       Meningkatkan integrasi nasional secara vertical (pemerintah dengan masyarakat). Cara-cara yang dapat ditempuh adalah:
      Menerapkan rezim terbaikk bagi Indonesia Ramlan Surbakti (1999: 32), yaiturezim yang sebagaiman terdapat dalam UUD 1945 dan Pancasila. Dimana dalam UUD 1945 dinyatakan 4 tujuan negara yaitu: melindungi seluruh golongan masyarakat dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan ikut serta menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian abadi, dan Pancasila sebagai sumber filsafat  negara yaitu: Ketuhanann Yang Mahaesa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradap, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah ebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tujuan ini dipandang maksimal jika rezim didukung secara struktural dengan bentuk dan susunan negara (negara republic dan kesatuan), karena struktur pemerintahan cenderung bersifat pembagian kekuasaan daripada pemisahan kekuasaan, dan jaminan atas hak-hak warga negara, seperti menyampaikan pendapat, berasosiasi, beragama, dan kesejahteraan.
      Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga demokrasi. Iklim dan budaya yang demikian itu, bagi Indonesia yang amat majemuk, sangat diperlukan. Tentunya, penghormatan dan pengakuan kepada mayoritas dibutuhkan, tetapi sebaliknya perlindungan terhadap minoritas tidak boleh diabaikan. Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Karena itu, premis yang mengatakan “The minority has its say, the majority has its way” harus kita pahami secara arif dan kontekstual.
      Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam segala aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan semua pihak, semua wilayah. Kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, keseimbangan pusat daerah, hubungan simetris mayoritas-minoritas, perlindungan kaum minoritas, permberdayaan putra daerah, dan lain-lain pengaturan yang sejenis amat diperlukan. Disisi lain undang-undang dan perangkat regulasi lain yang lebih tegas agar gerakan sparatisme, perlawanan terhadap ideologi negara, dan kejahatan yang berbau SARA tidak berkembang dengan luluasa, harus dapat kita rumuskan dengan jelas.
      Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun informal, harus memilikim kepekaan dan kepedulian tinggi serta upaya sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional. Kesalahan yang lazim terjadi, kita sering berbicara tentang kondisi objektif dari kurang kukuhnya integrasi nasional di negeri ini, serta setelah itu “bermimpi” tentang kondisi yang kita tuju (end state), tetapi kita kurang tertarik untuk membicarakan prose dan kerja keras yang harus kita lakukan. Kepemimpinan yang efektif di semua ini akhirnya merupakan faktor penentu yang bisa menciptakan iklim dan langkah bersama untuk mengukuhkan integrasi nasional.
      Meningkatkan Intergrasi wilayah Ramlan Surbakti (1999:53),  dengan membentuk kewenangan nasional pusat terhadap wilayah atau daerah politik yang lebih kecil. Indonesia membentuk konsep wilayah yang jelas dalam arti wilayah yang meliputi darat, laut, udara, dan isinya degan ukuran tertentu. Maupun dengan aparat pemerintah dan sarana kekuasaan untuk menjaga danmempertahankan kedaulatan wilayah dari penetrasi luar. Nmun, kenyataannya masih banyak wilayah Indonesia yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, sehingga seringkali diaku oleh Negara lain.
b.      Meningkatkan integrasi nasional secara horizontal antar masyarakat Indonesia yang plural. Cara-cara yang dapat ditempuh adalah:
      Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran, dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan saparatisme, harus terus dilahirkan dalam hati sanubari dan alam pikiran bangsa Indonesia.
      Membangun kelembagaan (pranata) di masyarakat yang berakarkan pada nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa tidak memandang perbedaan suku, agama, ras, keturunan, etnis dan perbedaan-perbedaan lainnya yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Menyuburkan integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata di masyarakat kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian konflikk (conflict management) guna mencegah kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik.
      Meningkatkan integrasi bangsa Ramlan Surbakti (1999: 52), adalah penyatuan berbagai kelompok sosial budaya dalam satu-kesatuan wilayah dan dalam suatu identitas nasional. Diandaikan, masyarakat itu berupa masyarakat majemuk yang meliputi berbagi suku bangsa, ras, dan agama. Di Indoonesia integrasi bangsa diwujudkan dengan a) penghapusan sifat kultural utama dari kelompok minoritas dengan mengembangkan semacam kebudayaan nasional biasanya kebudayaan suku bangsa yang dominan, atau b) dengan pembentukan kesetiaan nasional tanpa menghapuskan kebudayaan kelompok kecil. Negara Indonesia menempuh cara b ini, yakni menangani masalah integrasi bangsa dengan kebudayaan nasional yang dilukiskan sebagai puncak-puncak (hal yang terbaik) dari kebudayaan daerah, tetapi tanpa menghilangkan (bahkan mengembangkan) kebudayaan daerah.
      Mengembangkan perilaku integratif di Indonesia Ramlan Surbakti (1999: 55),  dengan upaya bekerja sama dalam organisasi dan berperilaku sesuai dengan cara yang dapat membantu pencapaian tujuan organisasi. Kemampuan individu, kekhasan kelompok, dan perbedaaan pendapat bahkan persaingan sekalipun tidak perlu dipertentangkan dengan kesediaan bekerja sama yang baik. Perilaku integrative dapat diwujudkan dengan mental menghargai akan perbedaan, saling tenggang rasa, gotong royong, kebersamaan, dan lain-lain.
      Meningkatkan integrasi nilai di antara masyarakat. Integrasi nilai Ramlan Surbakti (1999: 54), adalah persetujuan bersama mengenai tujuan-tujuan dalam prinsip dasar politik, dan prosedur-prosedur lainnya, dengan kata lain integrasi nilai adalah penciptaan suatu system nilai (ideology nasional) yang dipandang ideal, baik dan adil dengan berbagi kelompk masyarakat. Integrasi nilai Indonesia ada dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai system nilai bersama.

 Hambatan , Tantangan , Ancaman , dan Gangguan Integrasi Nasional
  
\ Hambatan Integrasi Nasional
Hambatan merupakan usaha yang berasal dari dalam diri sendiri yang bersifat atau bertujuan untuk melemahkan ataau menghalangi secara konsepsional keinginan atau kemajuan yang ingin dicapai.
Ada beberapa Faktor yang menjadi Penghambat Integrasi Nasional di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.            Masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam (heterogen) dalm faktor-faktor kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya,bahasa daerah,agama yang dianut ras,dan sebagainya.
2.            Wilayah yang begitu luas,terdiri dari ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3.            Besarnya ancaman,tantangan,halangan dan gangguan yang menrongrong keutuhan,kesatuan dan persatuan bangsa,baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
4.            Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di kalangan masyarakat.dampaknya akan timbul dalam berbagai gejalah seperti SARA,gerakan separatisme dan kedaerahan,atau demontrasi dan unjuk rasa.
5.            Adanya paham "etnosentrisme" di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan kelebihan-kelebihan budayanya dan sebaliknya menganggap rendah budaya suku bangsa yang lainnya.
6.            Lemahnya nila-nilai budaya bangsa akibat kuatnya pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa,baik melewati kontak langsung maupun tak langsung.Kontak langsung antara lain melalui unsur-unsur pariwisata,sedangkan kontak tak langsung antara lain melalui media cetak (majalah dan tabloid) atau media elektronika (televisi,tape recorder,film,radio).hal itu akan berdampak adanya westernisasi atau gaya hidup kebarat-baratan,pergaulan bebas,penyalahgunaan narkotika dan lain sebagainya.

\ Ancaman dan Tantangan Integrasi Nasional
Bangsa Indonesia sebetulnya dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain dan dari negara kita sendiri tentang akibat menguatnya primordialisme, sehingga keberadaan dan penguatan lembaga-lembaga integrative seperti sistem pendidikan nasional, birokrasi sipil dan militer, partai-partai politik (ideology nasionalisme yang dapat menjembatani perbedaan etnik yang tajam, Sedangkan partai etnik tidak berhasil) harus tetap dilaksanakan dengan mengngat bahwa hal ini adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat kita yang majemuk.
Perlunya lembaga-lembaga pemersatu melalui state building dilandasi oleh pemikiran seorang ilmuwan Benedict Anderson, yang menganggap nasionalisme sebagai ideologi yang membentuk suatu masyarakat imajiner (imagined communities). Dalam masyarakat imajiner menjadi masyarakat riil juga membuktikan kebenaran teori Geertz tentang perlunya lembaga-lembaga pemersatu, sehingga ketika pencetus ideology nasionalisme para founding father sudah meninggal, negara bangsa masih tetap bertahan dan tidak terjadi disintegrasi. Uraian secara singkat tentang lembaga pemersatu yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut :
a. Birokrasi sipil dan militer
 Lembaga integrative yang paling dominant dan paling penting yang mutlak diperlukan adalah kekuatan militer (TNI), yang jika diperlukan dapat memakai penguasaan dan monopolinya atas alat-alat kekerasan (alat peralatan perang – alat utama sistem persenjataan) untuk mempertahankan dan bahkan untuk membangun negara bangsa. Dalam kerangka pemikiran tradisional bahkan gejala universal kaum militer di dunia, peranan militer sebagai benteng terakhir (mean of the last resort) mempertahankan kebutuhan negara bangsa. Hal ini dapat dilihat sikap keras dari militer terhadap gerakan-gerakan separatis maupun kedaerahan (primodialisme), sebagai contoh kudeta militer di Pakistan di bawah Jenderal Musharaf, kepulauan Fiji, Rusia di bwah Presiden Vladimir Putin menghadapi separatis Chechnya, dan Srilanka menghadapi gerilyawan etnik Tamil serta TNI dan Polri menghadapi gerakan-gerakan separatis maupun kedaerahan di Indonesia mulai dari RMS tahun 1950, sampai masalah GAM di Aceh dan Papua Merdeka di Papua.
Dalam suasana demokratisasi, pengunaan kekuatan militer terhadap gerakan separatis dapat menimbulkan ambivalensi karena pada proses demokrasi, kegiatan separatisme yang dilakukan tanpa kekerasan adalah sesuatu yang legal. Contoh nyata adalah kasus Quebec di Kanada yang sudah dua kali melakukan referendum untuk memisahkan diri tetapi tidak berhasil. Referendum yang berhasil terjadi di Indonesia, yakni jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999 yang dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan. Jajak pendapat di Timor Tiimur sebetulnya bukan yang pertama kali untuk Indonesia, karena kita pernah menyelenggarakan Act of free choice (penentuan pendapat rakyat – perpera) di Irian jaya tahun 1969 bersama PBB, yang berhasil mendapat dukungan untuk bersatu dengan Indonesia. Contoh Jajak pendapat serupa terjadi di Sabah dan Serawak tahun 1963 yang setuju bergabung dengan semenanjung Malaya untuk membentuk negara Malaysia.
Selain birokrasi militer, proses state building juga mencakup birokrasi sipil yang mempunyai tugas utama menarik pajak dan menyediakan bahan Pokok khususnya bahan Makanan (aparatur pajak sebagai bentuk yang paling tradisional dari demokrasi). Penyediaan bahan Makanan harus tersedia dengan cukup untuk mencegah terjadinya “huruhara kelaparan pangan” atau food riots, yang dalam sejarah dapat di contohkan dengan revolusi Prancis tahun 1789 dan revolusi Rusia tahun 1917. Indonesia juga pernah mengalami food riots yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan orde baru tahun 1998 akibat krisis moneter Sejak tahun 1997. Krisis pangan dan moneter juga meruntuhkan pemerintahan di Muangthai dan Korea Selatan, Sedangkan yang selamat hanya Malaysia di bawah PM Mahathir Mohammad.
Birokrasi militer dan sipil di Indonesia sudah berkembang pesat dan mengalami kemajuan baik dari segi jumlah, kualitas, jenjang pangkat maupun penempatan jabatan eselon Pimpinan serta sumber etnik rekrutmen. Dari segi etnik, baik TNI maupun Polri dan PNS baik Pusat maupun daerah sudah meliputi semua etnik group yang ada, sehingga melambangkan Bhineka Tunggal Ika.
b. Partai Politik.
Lembaga partai politik di Indonesia merupakan perwujudan dari ideology nasionalisme yang paling berhasil. Ideologi nasionalisme yang dibawakan oleh Partai Politik di Indonesia cukup berhasil, partai politik yang berideologi nasionalisme dapat menjembatani perbedaan etnik yang tajam, ini dapat dibuktikan oleh sejarah bahwa partai politik yang berazaskan etnik boleh dikatakan kurang berhasil bahkan gagal total. sebagai contoh pada Pemilu 1999 Partai Tionghoa Indonesia gagal dibandingkan partai Bhineka Tunggal Ika yang keduanya berorientasi etnik Tionghoa, dimana partai Bhineka Tunggal Ika yang majemuk berhasil memperoleh satu kursi di DPR. Sedangkan pada Pemilu tahun 1955 yang agak berhasil hanya Partai Persatuan Dayak di Kalimantan Barat Sedangkan Partai etnik lainnya di Jawa Barat gagal memperoleh kursi di DPRD maupun DPR.
Dalam sejarahnya Partai Politik merupakan alat mobilisasi vertical yang lebih cepat dibandingkan dengan birokrasi nasional baik birokrasi sipil maupun militer. Dengan sistem Pemilu di Indonesia sekarang merupakan gabungan dari sistem distrik dan sistem proposional, sehingga perwakilan daerah dan etnik terwakili. Maka partai politik mampu menjadi alat integrasi bangsa untuk menekan perlawanan etnik yang minoritas. Kita juga dapat memetik pelajaran dan pengalaman kisah sukses PAP di Singapura menunjukkan keberhasilan kebijakan rekrutmen dari Lee Kuan Yew dalam mengakomodir ketiga etnik yang ada di luar etnik mayoritas Tionghoa yakni etnik Melayu, India dan Indo (Eurasian). Bagaimana dengan Pemilu 2009 nanti ?
c. Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional menjadi alat integrasi nasional terutama karena sifatnya yang menciptakan elite nasional yang kohesif. Pendidikan nasional mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi, menjadi alat pemersatu baik melalui kurikulum nasiional, bahasa pengantar maupun sistem rekrutmen siswa, mahasiswa maupun tenaga pengajar yang bersifat nasional. Dalam suasana otonomi daerah sekarang ini diusahakan adanya ujian lokal tetapi yang berstandar nasional, demikian juga walaupun ada ide untuk menambah muatan kurikulum lokal/kedaerahan, namun tetap kurikulum inti mengajarkan ilmu sosial dan humaniora yang bersifat integratif dan nasional.
Sifat integratif lainnya adalah pemakaian bahasa pengantar yakni bahasa Indonesia sebaga bahasa nasional disamping penggunaan bahasa lokal/daerah yang diberlakukan untuk pendidikan tingkat SD/SLTP. Cara ini akan memudahkan integrasi ke dalam sistem nasional dan sosialisasi yang sama untuk seluruh warga negara.
Sedangkan alat integrasi yang lain adalah rekrutmen siswa, mahasiswa dan tenaga pengajar yang bersifat nasional dan multi etnik, sehingga terjadi proses komunikasi, sosialisasi, asimilasi dan kulturasi dari berbagai etnik di kalangan siswa, mahasiswa dan tenaga pengajar. Adanya perguruan tinggi pada tahun 1920 di Jakarta dan di berbagai kota besar maupun di setiap ibukota propinsi dan dianggap sebagai embrio terbentuknya komunitas nasional yang bersifat multi etnik, berbicara dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan berkeinginan terbentuknya negara Indonesia.
d. Kemajuan Komunikasi dan Transportasi.
Peranan media masa nasional seperti koran, majalah, TVRI, RRI cukup penting di Indonesia sebagai alat integrasi nasional. Banyak koran maupun media masa lainnya yang terbit di Jakarta tetapi penyebarannya menjangkau sampai ke seluruh kabupaten-kabupaten, begitu juga koran lokal yang mampu menembus pasar ke daerah lainnya. Alat komunikasi lainnya adalah telepon, yang mengalami perkembangan pesat sejak pemerintahan orde baru sampai sekarang, seiring dengan modernisasi telekomunikasi yang dipelopori oleh Telkom dan Indosat. Sifat integratif dari telepon ini dibuktikan dengan banyaknya percakapan interlokal antar kota yang mencakup rata-rata 30 % dari biaya langganan telepon perbulan.
Perkembangan yang cepat dalam bidang transportasi mengakibatkan terjadinya mobilitas geografis penduduk dapat lebih cepat, aman, nyaman, dan murah. Bentuk mobilitas penduduk dapat transmigrasi, migrasi maupun turisme baik antar daerah, nasional, regional bahkan global. Meningkatnya kegiatan mobilitas penduduk dan turisme nasional maupun lokal membawa dampak memperkuat rasa kesatuan dan kebangsaan.


\  Gangguan Integrasi Nasional
Geografi. Letak Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Daerah yang berpotensi untuk memisahkan diri adalah daerah yang paling jauh dari ibu kota, atau daerah yang besar pengaruhnya dari negara tetangga atau daerah perbatasan, daerah yang mempunyai pengaruh global yang besar, seperti daerah wisata, atau daerah yang memiliki kakayaan alam yang berlimpah.

Demografi. Pengaruh (perlakuan) pemerintah pusat dan pemerataan atau penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan faktor dari terjadinya disintegrasi bangsa, selain masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan SDM.

Kekayaan Alam. Kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam dan berlimpah dan penyebarannya yang tidak merata dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, karena hal ini meliputi hal-hal seperti pengelolaan, pembagian hasil, pembinaan apabila terjadi kerusakan  akibat dari pengelolaan.

Ideologi. Akhir-akhir ini agama sering dijadikan pokok masalah didalam terjadinya konflik di negara ini, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agama yang dianut dan agama lain. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan bijaksana pada akhirnya dapat menimbulkan terjadinya kemungkinan disintegrasi bangsa, oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus dari para tokoh agama mengenai pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama secara berkesinambungan.

Politik. Masalah politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut berbagai ketidak nyamanan atau ketidak tenangan dalam bermasyarakat  dan  sering   mengakibatkan  konflik   antar  masyarakat  yang berbeda faham apabila tidak ditangani dengan bijaksana akan menyebabkan konflik sosial di dalam masyarakat. Selain itu ketidak sesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan pada pemerintah daerah juga sering menimbulkan perbedaan kepentingan yang akhirnya timbul konflik sosial karena dirasa ada ketidak adilan didalam pengelolaan dan pembagian hasil atau hal-hal lain seperti perasaan pemerintah daerah yang sudah mampu mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat, konflik antar partai, kabinet koalisi yang melemahkan ketahanan nasional dan kondisi yang tidak pasti dan tidak adil akibat ketidak pastian hukum.




Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan semakin menyebabkan sebagian besar penduduk hidup dalam taraf kemiskinan. Kesenjangan sosial masyarakat Indonesia yang semakin lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dan adanya indikasi untuk mendapatkan kekayaan dengan tidak wajar yaitu melalui KKN.

Sosial Budaya. Pluralitas kondisi sosial budaya bangsa Indonesia merupakan sumber konflik apabila tidak ditangani dengan bijaksana.  Tata nilai yang berlaku di daerah yang satu tidak selalu sama dengan daerah yang lain. Konflik tata nilai yang sering terjadi saat ini yakni konflik antara kelompok yang keras dan lebih modern dengan kelompok yang relatif terbelakang.

Pertahanan Keamanan. Kemungkinan disintegrasi bangsa dilihat dari aspek pertahanan keamanan dapat terjadi dari seluruh permasalahan aspek asta gatra  itu sendiri.   Dilain pihak turunnya wibawa TNI dan Polri akibat kesalahan dimasa lalu dimana TNI dan Polri digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya bukan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.