Pengertian Prawrtti Marga
Tanupa’ agne’si tanvaṁ me
pāhathayurdā’agne’ syāyurme dehi,
varcodā’agne’si varco me dehi
agne yanme tanvā’ūnaṁ tanma’āpṛṇa”.
Terjemahannya:
“Engkau (Hyang Agni) adalah
pelindung badan kami, lindungilah badan kami.
Engkau memberikan umur panjang,
berikanlah kami umur panjang, Engkau
memberikan kecemerlangan budi. Ya
Tuhan yang Maha Esa, apapun yang kurang
pada diri kami, semoga engkau
memberikannya” (Yajur Veda III.17).
Prawrtti
Marga adalah cara atau jalan yang utama untuk mewujudkan rasa bhakti ke
hadapan Sang Hyang Widhi, dengan tekun melaksanakan tapa, yajna, dan kirti.
Pengertian Tapa
Kata “tapa” berarti pengendalian diri untuk memuja
Sang Hyang Widhi. Setiap umat Hindu memiliki kewajiban untuk melakukan
pengendalian diri, dengan tujuan menghubungkan
diri ke hadapan Sang Hyang Widhi. Pengendalian diri (tapa) itu sangat
perlu dilaksanakan secara tekun dan teratur. Pelaksanaan tapa dapat dilakukan dengan
mengikuti ajaran yama dan nyama. Kitab Yoga Sutra Patanjali menyebutkan
ajaran yama dan niyama, masing-masing terdiri atas 5
bagian yang disebut dengan nama “Panca Yama” dan “Panca Nyama”. Sebagai
makhluk Tuhan manusia hendaknya dapat kembali kepada-Nya dengan cara tekun
dan kesungguhan hati melaksanakan tapa melalui pelaksanaan ajaran Panca Yama
dan Nyama. Tapa merupakan salah satu cara untuk menyucikan jiwa/roh yang ada
dalam diri kita.
Kitab
Manusmrti menyebutkan
sebagai berikut
“adbhir
gatrani cuddhyanti manah sayena
cuddhyanti,
widyo
tapobhyam bhratātma buddhir
jnanena
cuddhyanti”.
(Manawa Dharma Sastra V.109)
Terjemahannya:
“Tubuh
dibersihkan dengan air, pikiran
dibersihkan
dengan kejujuran, roh
dibersihkan
dengan ilmu dan tapa, akal
dibersihkan
dengan kebijaksanaan”.
Keterangan
di atas dengan jelas menyatakan bahwa pengendalian diri, (tapa) merupakan
sarana untuk membersihkan roh/jiwatma yang berada pada diri manusia dari
belenggu ketertarikan yang bersifat duniawi. Maha Resi Patanjali mengatakan bahwa
citta atau alam
pikiran manusia dibangun oleh manah
(bagian
alam pikiran yang bersifat penerima kesan) budhi (bagian alam pikiran yang bersifat
menganalisa), dan ahamkara
(
rasa aku/rasa ego).
Pikiran
manusia hendaknya dibersihkan dengan selalu berbuat jujur. Di dalam pribadi
yang jujur terdapat pemikiran yang jernih, dan dalam pemikiran yang jernih terdapatlah
ketenangan batin.
Perilaku
manusia di samping dapat dibentuk oleh faktor lingkungan, juga dibentuk oleh
faktor dalam manusia itu sendiri. Faktor dalam dari manusia yang bersangkutan dalam
bertingkah-laku harus diperhatikan, karena ia memiliki sifat yang beraneka ragam.
Faktor dalam manusia disebut dengan Tri Guna, yang unsur-unsurnya terdiri dari
sattwam, rajas dan tama.
Dalam
sloka 15 dari kitab Wraspati Tattwa, menyebutkan
keterangan tentang Tri Guna,
sebagai
berikut.
“Laghu prakacakam sattwam cancalam
tu rajah sthitam,
tamo guru varanakam ityetaccinta
laksanam
ikang citta mahangan mawa, yeka
sattwa ngaranya,
ikang madres molah, yeka rajah
ngaranya,
abwat peteng, yeka tamah ngaranya”.
Terjemahannya
:
“Pikiran
yang ringan dan terang, itu sattwam
namanya,
yang bergerak cepat itu
rajas namanya, yang
berat dan gelap itu tamas namaya”.
Keterangan
dari kitab Wrhaspati Tattwa jelas-jelas
menyatakan bahwa pikiran adalah raja/pemimpin yang ada pada diri manusia.
Pikiranlah yang memerintah manusia untuk
bertingkah-laku dalam kehidupan ini. Pikiran manusia yang dilapisi oleh
Tri Guna (tiga kekuatan) akan bergerak-gerak menurut besar-kecilnya pengaruh dari
masing-masing guna (kekuatan) yang ada pada manusia itu sendiri. Guna Sattwa bersifat
baik bijaksana, Guna Rajas bersifat ego/angkuh, dan Guna Tamas bersifat malas
atau masa bodo. Manusia hendaknya dapat mengendalikan Guna Rajas dan Guna
Tamas yang ada pada dirinya. Sebaliknya Guna Sattwam manusia harus memiliki kemampuan
untuk mengangkat Guna Sattwam yang ada pada dirinya. Karena Guna Sattwam
dapat mengantar manusia menjadi orang bijaksana dan terhormat. Ajaran
tapa dengan yama dan nyama dapat mengantar pikiran manusia menuju sattwam.
Dan sattwam beserta dengan tapa dapat mengendalikan Guna Rajas dan
Tamas.
Bila ini dapat dan mau dilaksanakan maka manusia yang bersangkutan dapat dinyatakan
bijaksana serta berhasil dalam “tapa”.
Sastra-sastra
agama yang memuat ajaran pengendalian diri bila mau dipelajari, di dalam
dan diamalkan dapat menghantarkan orang yang bersangkutan melaksanakan tapa.
Dalam kesempurnaan “tapa” kita dapat merasakan Tuhan beserta manifestasinya itu
ada, mensyukuri anugrah-Nya, merasakan hidup ini indah dan hidup ini damai. Demikianlah
manfaat ajaran pengendalian diri (tapa) itu, guna terciptanya sifatsifat yang
mulia dan bijaksana (kedewasaan) dan terkendali sifat-sifat egois atau angkuh
(keraksasaan).
Pengertian Yajna
Yang
dimaksud dengan yajna adalah suatu pemujaan dan persembahan yang dilaksanakan
oleh umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan beserta manifestasinya
yang dilandasi dengan rasa bhakti dan ketulusan hati. Melaksanakan yajna
merupakan kewajiban bagi setiap umat yang beragama Hindu. Membiasakan diri
hidup dengan yajna adalah suatu kebiasaan yang utama. Keutamaan yajna terletak pada
ketulusan hati dari mereka yang mempersembahkan yajna itu. Umat
Hindu memiliki suatu keyakinan bahwa, terciptanya manusia oleh Tuhan/ Sang
Hyang Widhi berdasarkan yajna. Kitab Bhagavad
Gita menyebutkan
sebagai berikut.
“Sahayajnah prajah srishtva
puro’vacha praja patih,
anena prasavishya dhvam esa
vo’stvishta kamadhuk”.
(Bhagavad Gita. III. 10)
Terjemahannya:
“Dahulu
kala prajapati menciptakan manusia bersama bhakti-persembahannya
dan
bersabda; dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi
sapiperahanmu”.
Kata
bhakti dalam sloka di atas adalah yajna. Dari keterangan tersebut dapat dikatakan
bahwa, dahulu pada masa pencipta (Šṛṣti), Sang Hyang
Widhi /Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya
(manusia) berdasarkan yajna. Karena manusia
tercipta oleh yajña-Nya, maka sudah menjadi kewajiban, dalam kehidupannya
manusia mengisinya dengan yajna. Yajna merupakan salah satu cara bagi
manusia, untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan beserta manifestasinya.
Secara
umum umat Hindu melaksanakan lima jenis yajna.
Berikut
ini adalah bagian-bagian yajña.
a.
Dewa Yajña yaitu persembahan ke hadapan Sang Hyang Widhi
b.
Resi Yajña adalah persembahan kepada para rsi
c.
Manusa Yajña adalah persembahan terhadap sesama manusia.
d.
Pitra Yajña adalah persembahan kepada leluhur.
e.
Bhuta Yajña adalah persembahan kepada para bhuta.
Pelaksanaan
Yajña ini biasanya disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (laka) dan
keadaan (patra). Di bawah ini pelaksanaan “yajña” menurut waktunya.
A.
Setiap
hari, yang juga disebut “Nitya Kama”, yaitu pelaksanaan Yajña yang dilaksanakan
setiap hari antara lain seperti berikut ini.
1. Melaksanakan
Tri Sandhya yaitu menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan
Yang Maha Esa, tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) hari.
2. Mempersembahkan banten saiban yaitu
menyampaikan rasa bersyukur ke Sang Hyang Widhi/
Tuhan Yang Maha Esa, setiap habis masak di dapur. Kebiasaan seperti
ini perlu dilestarikan untuk menumbuhkembangkan rasa bersyukur umat manusia
ke hadapan Sang Hyang Widhi. Orang yang baik adalah orang yang makan-makanan
yang telah dipersembahkan ke hadapan-Nya.
Kitab
Bhagavad Gita menyebutkan
sebagai berikut.
“Yajña sishtasinah santo muchyante
savra kilbishaih,
bhunjate te tvagham papa ye
pachanty atma karanat”.
Terjemahannya:
“Yang
baik makan setelah upacara bhakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi
menyediakan
makanan lezat hanya bagi mereka sendiri ini sesungguhnya makan
dosa”.
Keterangan
di atas memberikan amanat kepada kita agar selalu /dengan tidak hentihentinya memupuk
budhi yang luhur. Budhi luhur manusia dapat dilihat dari praktik hidupnya
sehari-hari, seperti lebih mendahulukan persembahan (yajna) dengan Panca Yajnanya
daripada kebutuhan dirinya.
B.
Pada hari-hari tertentu atau waktu-waktu
tertentu juga disebut “Naimitika Karma”. Selain yajna
itu dapat dipersembahkan setiap hari seperti tersebut di atas, juga dapat
dilaksanakan pada hari-hari atau waktu-waktu tertentu. Pelaksanaan yajna yang berhubungan
dengan waktu-waktu tertentu, seperti yajna yang berhubungan dengan hari
raya nyepi : Saraswati, Pagerwesi, Ciwaratri, Nyepi dan yang lainnya.
Pada
hari-hari tersebut di atas pemujaan ke hadapan Tuhan/Sang Hyang Widhi dilaksanakan
secara khusus. Sedangkan menurut tingkatannya yajña itu dapat dilaksanakan
melalui tingkatan nistan (nista), tingkatan madya dan tingkatan utama. Dari
tiga tingkatan pelaksanaan yajña, dapat kita kelompokkan lagi masing-masing menjadi
tiga tingkatan lagi seperti berikut ini.
a)
Tingkatan nistaning-nista.
b)
Tingkatan nistaning-madya.
c)
Tingkatan nistaning-utama.
d)
Tingkatan madhayaning-nista.
e)
Tingkatan madhayaning-madya.
f)
Tingakatan madhayaning-utama.
g)
Tingkatan utamaning-nista.
h)
Tingkatan utamaming-madya.
i)
Tingkatan utamaning-utama.
Keutamaan
dari yajña itu adalah sama, sedangkan tingkatan-tingkatannya itu bertujuan
untuk memberikan gambaran dari kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang
melaksanakan yajña (Sang Yajñamana). Yajña yang
dipersembahkan umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi menggunakan
beberapa sarana yang ditata dan disusun sedemikian rupa, dalam wujud
sesajen atau banten. Sesajen dan banten merupakan sarana pelengkap dari pelaksanaan
suatu yajña ke hadapan-Nya. Adanya beberapa
sarana pokok dari yajña, sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagavad Gita sebagai berikut.
“pattram pushpam phalam toyam
Yo me bhaktya prayachchati
Tad aham bhaktyu pahritam
Asnami prayatat manah”.
(Bhagavad Gita IX. 26)
Terjemahannya:
“Siapa
saja yang sujud kehadapan-Nya dengan persembahan setangkai daun,
sekuntum
bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air. Aku terima sebagai bhakti
persembahan
dari orang yang berhati suci”.
Dari
keterangan sloka di atas dapat kita simpulkan bahwa ,sarana pokok dalam beryana
terdiri atas; daun, bunga, buah, dan air serta yang utama kesucian
hati yang mempersembahkannya. Sedangkan tujuan dari
pelaksanaan yajna itu adalah sebagaimana
berikut.
1)
Sebagai pernyataan rasa bersyukur dan terima kasih ke hadapan Sang Hyang Widhi.
2)
Sebagai pernyataan permohonan anugrah-Nya.
3)
Sebagai ungkapan permohonan ampun atas segala kelalaian yang dilakukan.
4)
Sebagai penghormatan kesucian diri, guna dapat mencapai kerahayuan,
kesejahteraan
dan kebahagiaan atas karunia-Nya.
Demikianlah
manfaat “yajna” dalam pelaksanaan ajaran Prawrtti Marga, bila kita dapat
melaksanakan dengan kesungguhan hati akan dapat menikmati hasil atau phala yang
dijadikan tujuan.
Pengertian Kirti
Kirti
adalah suatu usaha, kerja ( karma) dan pengabdian yang dilaksanakan oleh umat
Hindu untuk menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya.
Kirti adalah wujud kerja umat Hindu dalam rangka melaksanakan swadharmanya,
baik dharma negara maupun dharma agama.
Agama
Hindu melalui ajaran karma-marga mengajarkan setiap umat hendaknya kerja
karena di dalam kerja terdapat kebahagiaan hidup ini. Seorang
pekerja yang baik adalah mereka yang bekerja dengan tidak mengikatkan diri
pada hasil kerja. Kerja yang dilandasi harapan para pekerjanya, bila tidak
dapat mengisi harapannya dia akan menderita. Kitab suci Bhagavad Gita menyebutkan sebagai
berikut.
“Na karmanam anarambhan
Naishkarmyam purusho’snute
Na cha samnyasanad ewa
Siddhim samadhigachchhati”
(
Bhagavad Gita. III. 4)
Terjemahannya:
“Orang
tidak akan mencapai kebebasan
karena
diam tiada bekerja juga ia takkan
mencapai
kesempurnaan karena
menghindari
kegiatan kerja”.
Dalam
sloka selanjutnya disebutkan sebagai berikut.
“Yajnarthat
karmano ‘nyatra
Loko
‘yam karma bandhnah
Tadartham
karma kaunteya
Mukta
sangah samaçhara”.
(Bhagavad Gita. III. 9)
Terjemahannya:
“Kecuali
tujuan berbhakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja karenanya, bekerjalah
demi bhakti tanpa kepentingan pribadi, oh Kunti Putra”.
Berdasarkan
keterangan sloka di atas, mengamanatkan kepada kita umat Hindu
untuk selalu dapat mengabdikan diri melalui karma (kerja). Kerja yang dilaksanakannya
hendaknya dilandasi dengan ketulusan hati, dan bukan karena mengharapkan
hasil kerja itu. Kerja yang dilaksanakan dengan bhakti adalah “kirti”. Bila
setiap umat Hindu dapat bekerja berdasarkan “kirti” maka tidak akan terjadi perselisihan
di antara pekerjaan-pekerjaan itu. “Kirti” mengajarkan kita pada hidup damai
dalam bekerja. Wujud kirti umat Hindu dalam hubungannya dengan
dharma agama, dapat
dilaksanakan
melalui hal-hal berikut.
a.
Membangun dan memelihara tempat suci (pura)
b.
Memberikan dana punia kepada orang suci atau orang lain yang sangat membutuhkan
c.
Membuat dan menyiapkan sarana upacara (sesajen) dalam rangka pemujaan
d.
Melaksanakan aktifitas/kerja bhakti (ngayah) pada tempat-tempat suci (pura)
e.
Dan kegiatan lain yang berhubungan dengan aktifitas agama.
Semua
kegiatan di atas merupakan beberapa wujud dari “Yasa Kirti” umat Hindu yang
berhubungan dengan pelaksanaan dharma agama. Kemudian dalam
hubungannya dengan pelaksanaan dharma negara, “Yasa Kirti” umat
Hindu dapat diwujudkan dengan cara-cara sebagai berikut :
a.
Turut berperan aktif dalam mensukseskan berbagai program pembangunan yang dicanangkan
oleh pemerintah.
b.
Berupaya mewujudkan pembangunan fisik di berbagai sektor seperti bidang pendidikan,
agama, sosial, kebudayaan, perekonomian, pertahanan, dan bidangbidang lainnya.
Dalam
mewujudkan “Yasa Kirti” tersebut, hendaknya pelaksanaan selalu dilandasi dengan
dharma dan kebajikan. Terciptanya suasana kebersamaan,
kekeluargaan, semangat gotong royong, mantapnya pertahanan
nasional, dan stabilitas nasional yang tangguh
adalah wujud nyata dari dharma negara umat Hindu.
Demikianlah
wujud “Yasa Kirti” umat Hindu dengan hubungannya dengan dharma
negara dan dharma agama. Semuanya terjadi karena adanya kesadaran umat Hindu
untuk membangun dan berkarya, guna mewujudkan kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan
rohani. Kesemuanya ini merupakan awal dari usaha untuk mewujudkan tujuan
agama (Moksatham jagadhita ya ca iti dharma) dan tujuan penbangunan bangsa
Indonesia ( masyarakat adil dan makmur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar