Kata pembuka

Kamis, 19 Februari 2015

Pwarrti Marga

Pengertian Prawrtti Marga
            Tanupa’ agne’si tanvaṁ me
pāhathayurdā’agne’ syāyurme dehi,
varcodā’agne’si varco me dehi
agne yanme tanvā’ūnaṁ tanma’āpṛṇa”.
Terjemahannya:
“Engkau (Hyang Agni) adalah pelindung badan kami, lindungilah badan kami.
Engkau memberikan umur panjang, berikanlah kami umur panjang, Engkau
memberikan kecemerlangan budi. Ya Tuhan yang Maha Esa, apapun yang kurang
pada diri kami, semoga engkau memberikannya” (Yajur Veda III.17).

Prawrtti Marga adalah cara atau jalan yang utama untuk mewujudkan rasa bhakti ke hadapan Sang Hyang Widhi, dengan tekun melaksanakan tapa, yajna, dan kirti.

Pengertian Tapa
            Kata “tapa” berarti pengendalian diri untuk memuja Sang Hyang Widhi. Setiap umat Hindu memiliki kewajiban untuk melakukan pengendalian diri, dengan tujuan menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi. Pengendalian diri (tapa) itu sangat perlu dilaksanakan secara tekun dan teratur. Pelaksanaan tapa dapat dilakukan dengan mengikuti ajaran yama dan nyama. Kitab Yoga Sutra Patanjali menyebutkan ajaran yama dan niyama, masing-masing terdiri atas 5 bagian yang disebut dengan nama “Panca Yama” dan “Panca Nyama”. Sebagai makhluk Tuhan manusia hendaknya dapat kembali kepada-Nya dengan cara tekun dan kesungguhan hati melaksanakan tapa melalui pelaksanaan ajaran Panca Yama dan Nyama. Tapa merupakan salah satu cara untuk menyucikan jiwa/roh yang ada dalam diri kita.
Kitab Manusmrti menyebutkan sebagai berikut
“adbhir gatrani cuddhyanti manah sayena
cuddhyanti,
widyo tapobhyam bhratātma buddhir
jnanena cuddhyanti”.
(Manawa Dharma Sastra V.109)
Terjemahannya:
“Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran
dibersihkan dengan kejujuran, roh
dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal
dibersihkan dengan kebijaksanaan”.
Keterangan di atas dengan jelas menyatakan bahwa pengendalian diri, (tapa) merupakan sarana untuk membersihkan roh/jiwatma yang berada pada diri manusia dari belenggu ketertarikan yang bersifat duniawi. Maha Resi Patanjali mengatakan bahwa citta atau alam pikiran manusia dibangun oleh manah (bagian alam pikiran yang bersifat penerima kesan) budhi (bagian alam pikiran yang bersifat menganalisa), dan ahamkara ( rasa aku/rasa ego).
Pikiran manusia hendaknya dibersihkan dengan selalu berbuat jujur. Di dalam pribadi yang jujur terdapat pemikiran yang jernih, dan dalam pemikiran yang jernih terdapatlah ketenangan batin.
Perilaku manusia di samping dapat dibentuk oleh faktor lingkungan, juga dibentuk oleh faktor dalam manusia itu sendiri. Faktor dalam dari manusia yang bersangkutan dalam bertingkah-laku harus diperhatikan, karena ia memiliki sifat yang beraneka ragam. Faktor dalam manusia disebut dengan Tri Guna, yang unsur-unsurnya terdiri dari sattwam, rajas dan tama.
Dalam sloka 15 dari kitab Wraspati Tattwa, menyebutkan keterangan tentang Tri Guna,
sebagai berikut.

“Laghu prakacakam sattwam cancalam tu rajah sthitam,
tamo guru varanakam ityetaccinta laksanam
ikang citta mahangan mawa, yeka sattwa ngaranya,
ikang madres molah, yeka rajah ngaranya,
abwat peteng, yeka tamah ngaranya”.
Terjemahannya :
“Pikiran yang ringan dan terang, itu sattwam namanya, yang bergerak cepat itu
rajas namanya, yang berat dan gelap itu tamas namaya”.
Keterangan dari kitab Wrhaspati Tattwa jelas-jelas menyatakan bahwa pikiran adalah raja/pemimpin yang ada pada diri manusia. Pikiranlah yang memerintah manusia untuk bertingkah-laku dalam kehidupan ini. Pikiran manusia yang dilapisi oleh Tri Guna (tiga kekuatan) akan bergerak-gerak menurut besar-kecilnya pengaruh dari masing-masing guna (kekuatan) yang ada pada manusia itu sendiri. Guna Sattwa bersifat baik bijaksana, Guna Rajas bersifat ego/angkuh, dan Guna Tamas bersifat malas atau masa bodo. Manusia hendaknya dapat mengendalikan Guna Rajas dan Guna Tamas yang ada pada dirinya. Sebaliknya Guna Sattwam manusia harus memiliki kemampuan untuk mengangkat Guna Sattwam yang ada pada dirinya. Karena Guna Sattwam dapat mengantar manusia menjadi orang bijaksana dan terhormat. Ajaran tapa dengan yama dan nyama dapat mengantar pikiran manusia menuju sattwam. Dan sattwam beserta dengan tapa dapat mengendalikan Guna Rajas dan
Tamas. Bila ini dapat dan mau dilaksanakan maka manusia yang bersangkutan dapat dinyatakan bijaksana serta berhasil dalam “tapa”.
Sastra-sastra agama yang memuat ajaran pengendalian diri bila mau dipelajari, di dalam dan diamalkan dapat menghantarkan orang yang bersangkutan melaksanakan tapa. Dalam kesempurnaan “tapa” kita dapat merasakan Tuhan beserta manifestasinya itu ada, mensyukuri anugrah-Nya, merasakan hidup ini indah dan hidup ini damai. Demikianlah manfaat ajaran pengendalian diri (tapa) itu, guna terciptanya sifatsifat yang mulia dan bijaksana (kedewasaan) dan terkendali sifat-sifat egois atau angkuh (keraksasaan).

Pengertian Yajna

Yang dimaksud dengan yajna adalah suatu pemujaan dan persembahan yang dilaksanakan oleh umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan beserta manifestasinya yang dilandasi dengan rasa bhakti dan ketulusan hati. Melaksanakan yajna merupakan kewajiban bagi setiap umat yang beragama Hindu. Membiasakan diri hidup dengan yajna adalah suatu kebiasaan yang utama. Keutamaan yajna terletak pada ketulusan hati dari mereka yang mempersembahkan yajna itu. Umat Hindu memiliki suatu keyakinan bahwa, terciptanya manusia oleh Tuhan/ Sang Hyang Widhi berdasarkan yajna. Kitab Bhagavad Gita menyebutkan sebagai berikut.
“Sahayajnah prajah srishtva puro’vacha praja patih,
anena prasavishya dhvam esa vo’stvishta kamadhuk”.
(Bhagavad Gita. III. 10)
Terjemahannya:
“Dahulu kala prajapati menciptakan manusia bersama bhakti-persembahannya
dan bersabda; dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapiperahanmu”.

Kata bhakti dalam sloka di atas adalah yajna. Dari keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa, dahulu pada masa pencipta (Šṛṣti), Sang Hyang Widhi /Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya (manusia) berdasarkan yajna. Karena manusia tercipta oleh yajña-Nya, maka sudah menjadi kewajiban, dalam kehidupannya manusia mengisinya dengan yajna. Yajna merupakan salah satu cara bagi manusia, untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan beserta manifestasinya.
Secara umum umat Hindu melaksanakan lima jenis yajna.
Berikut ini adalah bagian-bagian yajña.
a. Dewa Yajña yaitu persembahan ke hadapan Sang Hyang Widhi
b. Resi Yajña adalah persembahan kepada para rsi
c. Manusa Yajña adalah persembahan terhadap sesama manusia.
d. Pitra Yajña adalah persembahan kepada leluhur.
e. Bhuta Yajña adalah persembahan kepada para bhuta.
Pelaksanaan Yajña ini biasanya disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (laka) dan keadaan (patra). Di bawah ini pelaksanaan “yajña” menurut waktunya.
A.    Setiap hari, yang juga disebut “Nitya Kama”, yaitu pelaksanaan Yajña yang dilaksanakan setiap hari antara lain seperti berikut ini.
1.  Melaksanakan Tri Sandhya yaitu menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) hari.
2.  Mempersembahkan banten saiban yaitu menyampaikan rasa bersyukur ke Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa, setiap habis masak di dapur. Kebiasaan seperti ini perlu dilestarikan untuk menumbuhkembangkan rasa bersyukur umat manusia ke hadapan Sang Hyang Widhi. Orang yang baik adalah orang yang makan-makanan yang telah dipersembahkan ke hadapan-Nya.
Kitab Bhagavad Gita menyebutkan sebagai berikut.
“Yajña sishtasinah santo muchyante savra kilbishaih,
bhunjate te tvagham papa ye pachanty atma karanat”.
Terjemahannya:
“Yang baik makan setelah upacara bhakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi
menyediakan makanan lezat hanya bagi mereka sendiri ini sesungguhnya makan
dosa”.
Keterangan di atas memberikan amanat kepada kita agar selalu /dengan tidak hentihentinya memupuk budhi yang luhur. Budhi luhur manusia dapat dilihat dari praktik hidupnya sehari-hari, seperti lebih mendahulukan persembahan (yajna) dengan Panca Yajnanya daripada kebutuhan dirinya.
B.      Pada hari-hari tertentu atau waktu-waktu tertentu juga disebut “Naimitika Karma”. Selain yajna itu dapat dipersembahkan setiap hari seperti tersebut di atas, juga dapat dilaksanakan pada hari-hari atau waktu-waktu tertentu. Pelaksanaan yajna yang berhubungan dengan waktu-waktu tertentu, seperti yajna yang berhubungan dengan hari raya nyepi : Saraswati, Pagerwesi, Ciwaratri, Nyepi dan yang lainnya.

Pada hari-hari tersebut di atas pemujaan ke hadapan Tuhan/Sang Hyang Widhi dilaksanakan secara khusus. Sedangkan menurut tingkatannya yajña itu dapat dilaksanakan melalui tingkatan nistan (nista), tingkatan madya dan tingkatan utama. Dari tiga tingkatan pelaksanaan yajña, dapat kita kelompokkan lagi masing-masing menjadi tiga tingkatan lagi seperti berikut ini.
a) Tingkatan nistaning-nista.
b) Tingkatan nistaning-madya.
c) Tingkatan nistaning-utama.
d) Tingkatan madhayaning-nista.
e) Tingkatan madhayaning-madya.
f) Tingakatan madhayaning-utama.
g) Tingkatan utamaning-nista.
h) Tingkatan utamaming-madya.
i) Tingkatan utamaning-utama.
Keutamaan dari yajña itu adalah sama, sedangkan tingkatan-tingkatannya itu bertujuan untuk memberikan gambaran dari kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang melaksanakan yajña (Sang Yajñamana). Yajña yang dipersembahkan umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi menggunakan beberapa sarana yang ditata dan disusun sedemikian rupa, dalam wujud sesajen atau banten. Sesajen dan banten merupakan sarana pelengkap dari pelaksanaan suatu yajña ke hadapan-Nya. Adanya beberapa sarana pokok dari yajña, sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagavad Gita sebagai berikut.
“pattram pushpam phalam toyam
Yo me bhaktya prayachchati
Tad aham bhaktyu pahritam
Asnami prayatat manah”.
(Bhagavad Gita IX. 26)
Terjemahannya:
“Siapa saja yang sujud kehadapan-Nya dengan persembahan setangkai daun,
sekuntum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air. Aku terima sebagai bhakti
persembahan dari orang yang berhati suci”.
Dari keterangan sloka di atas dapat kita simpulkan bahwa ,sarana pokok dalam beryana terdiri atas; daun, bunga, buah, dan air serta yang utama kesucian hati yang mempersembahkannya. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan yajna itu adalah sebagaimana berikut.
1) Sebagai pernyataan rasa bersyukur dan terima kasih ke hadapan Sang Hyang Widhi.
2) Sebagai pernyataan permohonan anugrah-Nya.
3) Sebagai ungkapan permohonan ampun atas segala kelalaian yang dilakukan.
4) Sebagai penghormatan kesucian diri, guna dapat mencapai kerahayuan,
kesejahteraan dan kebahagiaan atas karunia-Nya.
Demikianlah manfaat “yajna” dalam pelaksanaan ajaran Prawrtti Marga, bila kita dapat melaksanakan dengan kesungguhan hati akan dapat menikmati hasil atau phala yang dijadikan tujuan.

Pengertian Kirti

Kirti adalah suatu usaha, kerja ( karma) dan pengabdian yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk menghubungkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya. Kirti adalah wujud kerja umat Hindu dalam rangka melaksanakan swadharmanya, baik dharma negara maupun dharma agama.
Agama Hindu melalui ajaran karma-marga mengajarkan setiap umat hendaknya kerja karena di dalam kerja terdapat kebahagiaan hidup ini. Seorang pekerja yang baik adalah mereka yang bekerja dengan tidak mengikatkan diri pada hasil kerja. Kerja yang dilandasi harapan para pekerjanya, bila tidak dapat mengisi harapannya dia akan menderita. Kitab suci Bhagavad Gita menyebutkan sebagai berikut.
“Na karmanam anarambhan
Naishkarmyam purusho’snute
Na cha samnyasanad ewa
Siddhim samadhigachchhati”
( Bhagavad Gita. III. 4)
Terjemahannya:
“Orang tidak akan mencapai kebebasan
karena diam tiada bekerja juga ia takkan
mencapai kesempurnaan karena
menghindari kegiatan kerja”.

Dalam sloka selanjutnya disebutkan sebagai berikut.
“Yajnarthat karmano ‘nyatra
Loko ‘yam karma bandhnah
Tadartham karma kaunteya
Mukta sangah samaçhara”.
(Bhagavad Gita. III. 9)
Terjemahannya:
“Kecuali tujuan berbhakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja karenanya, bekerjalah demi bhakti tanpa kepentingan pribadi, oh Kunti Putra”.

Berdasarkan keterangan sloka di atas, mengamanatkan kepada kita umat Hindu untuk selalu dapat mengabdikan diri melalui karma (kerja). Kerja yang dilaksanakannya hendaknya dilandasi dengan ketulusan hati, dan bukan karena mengharapkan hasil kerja itu. Kerja yang dilaksanakan dengan bhakti adalah “kirti”. Bila setiap umat Hindu dapat bekerja berdasarkan “kirti” maka tidak akan terjadi perselisihan di antara pekerjaan-pekerjaan itu. “Kirti” mengajarkan kita pada hidup damai dalam bekerja. Wujud kirti umat Hindu dalam hubungannya dengan dharma agama, dapat
dilaksanakan melalui hal-hal berikut.
a. Membangun dan memelihara tempat suci (pura)
b. Memberikan dana punia kepada orang suci atau orang lain yang sangat membutuhkan
c. Membuat dan menyiapkan sarana upacara (sesajen) dalam rangka pemujaan
d. Melaksanakan aktifitas/kerja bhakti (ngayah) pada tempat-tempat suci (pura)
e. Dan kegiatan lain yang berhubungan dengan aktifitas agama.

Semua kegiatan di atas merupakan beberapa wujud dari “Yasa Kirti” umat Hindu yang berhubungan dengan pelaksanaan dharma agama. Kemudian dalam hubungannya dengan pelaksanaan dharma negara, “Yasa Kirti” umat Hindu dapat diwujudkan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Turut berperan aktif dalam mensukseskan berbagai program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah.
b. Berupaya mewujudkan pembangunan fisik di berbagai sektor seperti bidang pendidikan, agama, sosial, kebudayaan, perekonomian, pertahanan, dan bidangbidang lainnya.
Dalam mewujudkan “Yasa Kirti” tersebut, hendaknya pelaksanaan selalu dilandasi dengan dharma dan kebajikan. Terciptanya suasana kebersamaan, kekeluargaan, semangat gotong royong, mantapnya pertahanan nasional, dan stabilitas nasional yang tangguh adalah wujud nyata dari dharma negara umat Hindu.

Demikianlah wujud “Yasa Kirti” umat Hindu dengan hubungannya dengan dharma negara dan dharma agama. Semuanya terjadi karena adanya kesadaran umat Hindu untuk membangun dan berkarya, guna mewujudkan kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani. Kesemuanya ini merupakan awal dari usaha untuk mewujudkan tujuan agama (Moksatham jagadhita ya ca iti dharma) dan tujuan penbangunan bangsa Indonesia ( masyarakat adil dan makmur).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar